Kamis, 24 April 2014

Negeri Utopia

"Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kaubawa
Aku menuju kesana"

Sepenggal lirik lagu dari Katon Bagaskara. Sebuah lagu yang mungkin berkisah tentang pengharapan (jika tak mau disebut utopia) akan negara yang ideal dan harmonis.

Pernahkah ada?

Jika menelaah kembali lembaran demi lembaran sejarah kerajaan nusantara bahkan dunia, pernah satu atau dua kali kita menemukan kisah kerajaan ideal itu:
Raja yang adil, pertanian dan perdagangan yang maju, dan pada akhirnya rakyat yang damai dan sejahtera.

Jika hal yang dituliskan benar adanya, kemana kerajaan-kerajaaan itu?

Tak ada lagi.

Negeri dongeng itu sudah punah.
Dan kita yang jauh dari peradaban itu, hanya berujar eksistensi negara tersebut hanya utopia.

Rumput tetangga selalu lebih hijau.
Seringkali dalam pencarian negeri ideal, manusia mencari ke negara lain, berharap ada di nun jauh disana.

Adakah?
Secara temporer kadangkala ada.
Secara permanen tak pernah ada.


Seorang pemuda, berkeluh kesah tentang kota wisata idolanya di jawa tengah, kini penuh copet dan penipu.
Rasanya baru kemarin dia memuja muji setinggi dewa bahwa kota ini akan jadi tempat tinggalnya dimasa pensiun, hidup tenang dan damai.
Hari ini, utopia-nya bertahun-tahun lalu usai.


Petinggi pariwisata Indonesia pernah berbangga hati akan pembuatan film Eat,Pray,Love di Bali. Film itu akan mempromosikan Indonesia katanya.
Statement itu pasti keluar dari mulut mereka yang tak membaca versi novelnya.

Di novel aslinya, si penulis mengungkapkan bahwa Bali tidak sesuci tampakan luarnya.
Meskipun polisi Bali memakai bunga ditelinganya, nyatanya ketika si penulis ingin memperpanjang masa tinggal liburnya, dia cukup menyogok polisi Bali.

Selugas itu dia membuka borok korupsi di negara Indonesia.

Moralnya. Bali-pun bukan negara utopia yang diimpi-impikan.
Tak seindah itu.

Lalu apa yang harus kita pilih.
Tetap diam termenung di kota yang terasa menahan kita.

Atau

Pergi.
Jauh.
Lepas.
Kemana hati ingin pergi
Ke tempat-tempat yang mungkin mempertemukan kita dengan teman-teman baru...
dengan kebijaksanaan baru...

Selasa, 22 April 2014

Usia dan Sudut Pandang

Pernahkah didua waktu dalam hidup, kita melihat hal yang sama, namun berkesimpulan berbeda?

Apa yang membuat beda?
Hal yang diluar itu sana?
Atau diri didalam sini...


Ada sebuah film berjudul Cinta Pertama.
Diperankan Bunga Citra Lestari dan Ben Joshua.

Sebuah cerita tentang kegagalan wanita memiliki cinta pertamanya.

Klise.

Berapa dari kita yang bisa menikahi cinta pertamanya?
Andakah disana orang beruntung itu?

Bagi remaja yang menonton film Cinta Pertama, film itu berat.
Bukankah film tentang cinta pertama seharusnya bercerita kencan seru di taman, mall, dan tempat asyik lainnya? Nyinyir mereka para putih biru atau abu-abu.

Bagi dewasa, that's movie its all our story.
Sebuah cerita tentang Wanita yang tak mau percaya bahwa dia tak bisa memiliki cinta pertamanya.

Dalam satu adegan Alya yang diperankan BCL tak mau bersiap-siap untuk hari pernikahannya, dia berkata bahwa pernikahannya belum tentu jadi.
Sebuah kalimat penghibur diri dan pengabur kenyataan. Sebuah harapan semu bahwa yang dinikahi Alya seharusnya Sunny sang cinta pertama-nya.

Satu Film.
Remaja bersikap nyinyir.
Dewasa mengharu biru.


Mengapa bisa berbeda begitu...
Faktor Umur?
Pendidikan?
Pengalaman?
atau semuanya.


Dari "Cinta Pertama Study Case" diatas.
Mungkin bisa ditarik kesimpulan, semakin usia bertambah, semakin seseorang tersentuh akan sebuah peristiwa kegagalan.
Si dewasa mungkin tertawa mengingat, atau tersenyum miris terharu.


Semakin senja umur
Maka diam, melihat, merenung dan menyimpulkan jadi pilihan yang lebih baik daripada mengkritik atau bersikap nyinyir.

Oh benarkah....

Sabtu, 19 April 2014

Sebutir hal tentang Komunis

Atheis.

Itulah keimanan kaum komunis dari tafsir pribadi saya.

Sebagai orang yang lahir dimasa kekuasaan orde baru, saya jelas mendapat brainwash bahwa komunisme adalah musuh negara.

Seiring berjalannya waktu, semakin saya tertarik mempelajari tentang komunis.

Komunis-lah (melalui PKI-nya) yang menjadi sumbu dari dinamit besar yang menumbangkan idola politik sepanjang masa saya Bung Karno.

Dikala ayah saya masih sd, disebuah desa dipedalaman sumatera, komunis datang mengajarkan sebuah idealisme (tepatnya cuci otak) kepada mereka semua bocah-bocah sd.

Para komunis meminta anak sd itu memejamkan mata dan berdoa meminta pensil kepada Tuhan.
Dan kemudian komunis bertanya apakah Tuhan memberikan pensil kepada mereka?

Nenek gayungpun tau tidak ada pensil yang tiba-tiba turun dari langit.

Kemudian komunis mendikte agar anak-anak sd itu meminta pensil ke mereka, dan tentu saja si komunis memberikan tiap anak sd polos itu sebatang pensil.

Dan si komunis memberikan pesan moral bahwa Tuhan tidak ada, terbukti dari permintaan pensil mereka ke Tuhan.

Komunis bermain logika.
Anak sd yang masih mentah akalnya bisa saja terperdaya, dan kemudian mengimani ke-atheisan-nya komunis.

Tau bahwa lagu sangat kuat mempengaruhi anak-anak.
Komunis membuat lagu:

"Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu..."

Kepala batu adalah jendral-jendral seperti jendral Achmad Yani dan koleganya. Begitu tafsir yang disadur dari pengajar komunis yang roadshow di sekolah dasar pada periode orde lama.


Waktu beranjak.
Tahun 1965 komunis diberangus pemerintah berkuasa.

Dikala ibu saya sd, ada teman sekelasnya yang ber-orangtua-kan komunis.
Tentara pemerintah datang mengunjungi kelas, dan dihadapan teman sekelasnya si anak simpatisan komunis itu dijemput paksa.
Sejak hari itu ibu saya tidak pernah bertemu dengan teman-nya itu lagi.

Apakah si anak sd itu saat ini menjadi orang tua dari anak-anak seperti ibu saya?
Ataukah menjadi tulang belulang, seperti jutaan komunis diperiode 1965-an itu?

Entahlah...

Jumat, 18 April 2014

Tentang Pemilu

Entah ini pemilu yang keberapa

Seolah selalu ada harapan baru
Meski dimasalalu selalu dikhianati sang harapan

Kita semua.
Tak pernah berhenti berharap bahwa dipemilu ini (untuk kesekian kalinya) bahwa pemimpin yang sejati akan datang

Adakah pemimpin ideal itu?
Jelas tergantung perspektif

Saya pribadi mengidolakan Jusuf Kalla.

Dipemilu 2009.
Saat hampir semua teman saya percaya akan pencitraan SBY
Saya memilih Jusuf Kalla sebagai the Real President saya

Waktu membuktikan kebenaran saya atau teman-teman yang mayoritas itu.

Saya percaya bahwa intuisi identifikasi personal saya tidak salah.

Seperti yang diketahui kemudian, Jusuf Kalla kalah.
Pencitraan menang.

Lalu anda harus bagaimana ketika mayoritas teman anda punya persepsi kepemimpinan yang berbeda jauh dengan anda?

Jelas tak bisa disalahkan juga mereka yang terpedaya itu.
Jika anda partisipan pemilu hanya lima tahun sekali, jelas fondasi intuisi politik anda keropos dan rentan terperdaya oleh pencitraan media.

Maka seharusnya partipisan itu menjadikan politik sebagai sarapan sehari-harinya.
Agar tak terperdaya pencitraan media.

Hari ini, ditahun 2014.
Sebuah perubahan diharapkan

Jokowi dicalonkan.
Dia orang baik
Tapi apakah cukup kuat?
Saya berharap seorang Negoisator ulung seperti Jusuf Kalla yang mendampinginya

Jika jadi nyata...

Pilpres saya tidak ragu mencoblos kertas suara yang mana.

Senin, 07 April 2014

Langit yang Sama

Sebuah hari
Di perkantoran daerah Kelapa Gading.

Seorang pria diperkenalkan sebagai anggota baru sebuah kantor.

Sebuah awal dari semuanya...

"Siapa sih dia"
Tanya Kinan ke rekan sejawatnya.
"Katanya manajer baru departemen sebelah tuh" sahutnya
"Hmm muda dan tampaknya slengean ya" kinan menuding sambil melihat pakaian si pria yang sedikit kusut dan keluar dari celananya.


Kantor itu kecil saja, efisien dan membuat para penghuninya pasti berinteraksi satu sama lain.

Suatu siang.
Sang pria memfotokopi sebuah berkas
Dan ketika,karena fotokopi di kantor itu hanya satu saja.

Si pria pun bertemu Kinan.

"Fotocopy apa pak?" Kinan berbasa-basi.
"Oh enggak, kertas-kertas buat meeting aja mbak, oh iya maaf mbak siapa ya?'
"Kinan pak" dia tersenyum manis ke sang pria.
"Salam kenal ya Kinan, namaku Awan" reflek Awan tersenyum melihat senyum Kinan.


Sebuah siang yang panas.
Matahari menyembulkan sinarnya menembus jendela kantor...


Kinan berjalan melewati lorong antar departemen.
Dia melihat Awan duduk berdiskusi dengan rekan-rekannya

Yang mengganggu Kinan, Awan berdiskusi dengan duduk diatas meja.
Bagi seorang gadis tulen yang menjunjung tinggi tata krama seperti Kinan, perilaku Awan sangat mengganggu.

Tau dirinya diperhatikan, Awan melirik ke Kinan
Kinan memilih membuang muka
Membiarkan wajahnya terkena hempasan cahaya hangat matahari.


Kantin Kantor.

Panas cuaca dan kerja yang keras.
Sebuah kombinasi manis yang pantas dihadiahi minuman dingin.

Awan mencari-cari minuman yang dia inginkan
Ketika menemukannya dia tak hanya mendapatkan minuman, dia mendapatkan seorang Kinan sedang duduk sendiri dimeja kantin.

"Sendiri nih, Nan" basa basi yang amat basi dari Awan.
"Ah enggak, bedua sama teh botol dingin nih" balas Kinan dengan penekanan yg diiringi senyum judes.

"Ouchh gitu ya" Awan bergumam
"Engg tadi lewat departemenku ya kamu, jarang-jarang padahal" Awan berusaha mencairkan suasana agar cair seperti teh botol nya Kinan

"Iyaa,pas banget liat kamu lagi duduk-duduk ngeboss diatas meja!" Tuding Kinan to the point.

"Ahh itu kan biar gak kaku aja sama anak-anak, biar suasana cair" argumen Awan membela diri

"Memangnya duduk dengan lebih sopan gak bisa mencairkan suasana?" Balik Kinan menyerang

"Ya bisa sih, tapi enakan gitu sih" Awan mulai mengkeret kalah argumen.

"Ohh gitu ya!" seru Kinan sambil memicingkan mata ke Awan
"Udah aku cabut dulu ya, banyak kerjaan nih" tandas Kinan,pergi tanpa membiarkan Awan sempat membalas.



Hari-hari berikutnya, tak ada interaksi dari keduanya.
Kinan merasa ilfil dengan Awan.
Memilih menghindar dan tak berbicara dengan Awan.
Awan tahu, tak ada gunanya memaksa, sehingga dia membiarkan yang terjadi, terjadilah, Que Sera Sera, whatever will be will be.


Hari-hari dingin diantaranya terus bergulir, meskipun Perkantoran Kelapa Gading panas seperti Gurun.



Tempat fotocopy kantor.


Awan sibuk membaca dokumen-dokumen kantor yang banyak, sambil berjalan.
Tak dilihatnya Kinan dari arah berlawanan
Merekapun bertabrakan dan menghamburkan dokumen-dokumen mereka.


"Waduhh,maap banget Nan, suer gak ngeliat kamuu" tergopoh-gopoh Awan minta maaf ke "Perang Dingin" -nya itu.
"Iyah gapapa" Kinan berkata sambil membereskan dokumen
"Hmm ini apa nan" Awan bertanya,sambil membaca dokumen bertuliskan "Promotion Development Program (PDP)".
"Cuma dokumen-dokumen baru yang harus dipelajari pak" Kinan bergumam pelan.


Kafe dekat Kantor.

Kinan tampak kusut menatap dokumen dan laptopnya.
Entah kebetulan semata atau karena kafe itu tempat favorit. Awan ada di kafe yang sama.

"Hai Nan" sapa Awan
"Ohh, hai pak" balas Kinan
"Bikin materi presentasi PDP emang ribet sih, aku dulu pusing banget bikinnya" ujar Awan sambil menatap laptop Kinan.
"Oh iya,pak Awan pernah juga dulu ya"
"Iya Nan, banyak banget data yang harus dikumpulin"
"Iya pak bingung mulai dari mana"
"Gini nan, kamu kumpulin aja data 3 bulan terakhir dari tema yang kamu angkat, nanti bandingin head to head growthnya dengan 3 bulan kedepan. Pointnya yg dicari di PDP adalah dampak langsung dari kerjaanmu ke growthnya kita. Intinya before after effectlah" beber Awan panjang lebar.

"Hmm,iya juga ya pak, jadi keliatan perbandingannya" Kinan berfikir.

Hari-hari Kinan disibukkan dengan PDP-nya membuat dia semakin tak punya waktu bersosialisasi.


"Nan, masih sibuk PDP-nya?" BBM Awan
"Iya pak, sibuk banget nih" reply Kinan
"Besok ayo temenin aku main ya" ajak Awan
"Kemana pak" tanya Kinan
"Ada deh,seru kok" lugas Awan
"Hmm,oke deh" tandas Kinan


Esoknya....

"Oh ke (Taman) Anggrek yaa" Gumam Kinan
"Iyaa, belum pernah ice skating-an kan? Nyoba yukk" Awan mengajak
"Tapi,aku gak bisa main gituan pak" Kinan meragu
"Oh, sama dong aku juga gak bisa" Awan menukas sambil menarik tangan Kinan
"Looohhh" Kinan bingung memucat dan meragu



Dan dalam satu setengah dari dua jam jatah bermain Skating ke depan, mereka habiskan dengan pantat menempel dinginnya lantai es di arena skating.

Kinan yang tak bisa,terus mengekor memegang baju Awan, membiarkan Awan mengajaknya berputar-putar di arena skating.
Seru mereka bermain.
Seru mereka tertawa-tawa
Mentertawakan ketidakbisaan mereka, dan ke-amatir-an pengunjung skating lain yang terjatuh didinginnya lantai es.


"Haha seru yaaa" tukas Awan
"Ihh iyaa, abis banyak jatuhnya sih, hihihi" Kinan tertawa cekikikan

"Skating udah, maem udah, ayo kita duduk-duduk santai di taman yuk Nan" ajak Awan
"Ayok ajah pak, Taman mana?" Tanya Kinan
"Ada Taman enak dideket HI tuh" Awan berkata

Dan mereka menyusuri jalan, melewati flyover Roxy, untuk sampai ke Taman teduh idola Awan.



Taman Suropati...



"Ihh tempat apa iniihh" sinis Kinan berkata
"Tempatku kalo melepas lelah Nan, hehe" jawab Awan meredakan sinis Kinan
"Lihat, tempatnya ijo-ijo gini,nyenengin liatnya, oase setelah tiap hari liat aspal panas jalanan Jakarta muluk, hehe" cerocos Awan
"Ayoh duduk-duduk disitu" tunjuk Awan ke salah satu tempat duduk di Taman.
"Kamu tau, disini sering loo ada anak-anak mahasiswa seni yang latihan, bawa gitar, biola, terus nyanyi, gilak lo suara mereka keren-keren kayak Sammy Kerispatih atau Raisa kalo cewek" beber Awan panjang lebar dengan antusias
"Iya juga ya pak, kalo sore-sore ngobrol sama teman asyik nih, sampe pagi juga oke" balas Kinan dengan senyum senang.
"E tapi selain mahasiswa seni, disini juga kadang ada banci pengamen lo, haha" ujar Awan


Dan tampaknya, seperti Voldemort yang namanya tak boleh disebut karena dia akan hadir kepadamu.
Banci pengamen yang disebut-sebut Awan pun datang menghampiri.

Dan jadilah Awan dan Kinan mendengarkan Banci tersebut menyanyi dan joget-joget tidak jelas.
Ketika Kinan memberi mereka receh, si banci mencolek dagu Awan kemudian berlalu.
Kinan tertawa cekikikan.

"Hihi ada-ada aja" masih Kinan cekikikan
"Salah aku juga sih nyebut nama mereka, muncul deh, hahahaha" Awan ngakak


Dan hari itu, menjadi date yang menyenangkan untuk mereka.
Malam beranjak.
Dan mereka pulang ke peraduan masing-masing.



Hari yang sempurna dan dinanti Kinan tiba.
Pengumuman PDP
Singkat saja pengumuman itu
Tertulis:

"Congratulation to Kinanti Asriana karena telah berhasil menuntaskan Promotion Development Program dan berhak atas hak dan kewajiban yang mengikatnya"

Kinan berhasil.

"Pak Awaaannnnn, aku berhasiiillll" Kinan berbagi kabar bahagianya dengan Awan

"Weeeeeeeee, Congrats Kinaaannnnn" Awan memeluk Kinan.



Hanya beberapa saat setelah ucapan selamat itu. Awan dipanggil HRD.
Singkat saja HRD menyampaikan sebuah pesan yang merubah raut muka Awan.
Dari balik kaca ruangan, Awan masih melihat ekspresi gembira Kinan merayakan keberhasilan dengan teman-temannya.
Kali ini Awan menatap dengan nanar.


Suatu Malam di Kafe.

"Nan, I must say something important to you" ucap Awan dengan wajah serius
"Apa?" Kinan melihat raut serius Awan
"HRD barusan bilang, minggu depan aku dimutasi ke Surabaya" Awan to the point

Kinan diam melongo, dia berusaha mencerna.
Malam itu menjadi malam yang berat.


"Bagaimanapun ini tak dapat dihindarkan, aku mendukungmu apapun yang terjadi" Kinan mencoba bijak
"Aku berharap sebenarnya kita bisa seperti Nugroho dan Yanti yang bisa LDR dan akhirnya menikah" harap Awan
"Entahlah Awan, aku tak yakin" geleng Kinan meragu


Ruang Tunggu Bandara Soekarno Hatta


"Nan aku berangkat ya" BBM Awan
"Kamu hati-hati ya, sukses disana" Kinan mendoakan


Pesawatpun terbang tinggi.
Membawa asa terbang tinggi.



Perkantoran Rungkut, Surabaya.

Awan menatap langit biru.
Dia berharap Kinan sedang memandang langit yang sama

Tempat teduhnya mempertemukan mereka
Tempat teduhnya memisahkan mereka


Dan samar-samar dari HP Awan, terdengar lagu band Noah....


Dan diriku bukanlah aku....
Tanpa kamu tuk memelukku....
Kau melengkapi aku....
Kau sempurnakan aku....


Jumat, 04 April 2014

One Day in Bandung

Pagi hari...
Gambir

Cahaya matahari belum menembus gerbong-gerbong disana

Dan saya berfoto di plang nama Gambir.
Membanggakan diri

Ingin rasanya terus dipotret dengan background Monas.
Apa daya kualitas kamera tak mampu mengabadikannya

Its hurts a little


Kereta pun melaju.
Tidak mengantarkanku ke Surabaya
Itu terlalu jauh

Aku pergi ke bumi paris van java

Bukan, bukan Zimbabwe

Bandung!




Siang hari...
Bandung...

Ahh senangnyaaa mampir lagi ke kota ini
Tak tahu kenapa selalu senang

Naik angkot menuju dago
Ada apa di dago?
Aku tak menemukan apapun.
Mungkin karena tak tahu tempat tepat saja.


Dan kemudian langkah kaki meneruskan diri ke gedung enam juta gulden

Bukan, bukan Tembok Cina.

Gedung Sate!

Berfoto didepannya tentu kewajiban

Demi eksistensi biar diakui gaul.


Dan tak berapa lama aku sudah tiba di Cihampelas

Nongkrong dulu sebentar di KFC C-Walk.
Pesen minum dan sok-sokan baca koran bahasa inggris.
Walau dipaksakan saya tak paham.

Sudahlah...


Tak jauh dari sana, jalan Cipaganti-pun kususuri

Iseng, kubeli es lilin didepan SD.
Tak kusangka, enak sekali.

Tak kutemui rasa seenak itu lagi semenjak aku lulus SD.
Semoga penjual itu diberi umur panjang

Jika ke Cipaganti,aku harus beli es lilin itu lagi.

Langit senja mulai menyelimuti.
Pertanda aku harus kembali ke Daerah Khusus Ibukota.

Naik angkot, temanku bertanya tentang tempat kuliner ke supirnya.
Dalam bahasa sunda supir menjawab dengan antusiasnya.

Kubertanya pada teman apa artinya.

Dia bilang supirnya berbicara dalam bahasa sunda halus, dia tak paham.

Aku geli sendiri.


Pada akhirnya, laju kencang kereta mengantarkanku kembali ke Gambir.

Dalam dudukku, aku masih tak menemukan apa yang kucari

Aku berharap
Di jalanan Cihampelas
Akan kutemui dia yang cantik namun jarang tersenyum itu
Mungkin saja kutemui dia
Ditempat dia mencari karir ini

Nyatanya hari itu tak sama seperti FTV atau Film Roman Picisan yang sering kutonton.

Tak ada pertemuan dengan tanpa sengaja itu.
Mimpi yang terlalu bolong.

Well aku harus kembali ke Jakarta

Kelak jika aku kembali ke Bandung

Mungkin akan kutemui dia

Tanpa sengaja

Seperti cerita di tivi

Sebuah angan-angan.

Kamis, 03 April 2014

Kuliah di UI

Anda mahasiswa Universitas Indonesia?

Kalau saya bukan.

Ketika saya kecil, nama UI begitu besar terdengar

Ketika kecil saya bermimpi kuliah disana

Namun mimpi ber-jas kuning tak pernah jadi nyata


Bertahun-tahun kemudian.
Takdir membawa saya bekerja di Jakarta

Saya stay di Jakarta Utara
Entah kenapa arah selatan begitu menggoda untuk didatangi

Ya,saya harus kekampus UI Depok

Untuk pertama kalinya saya melihat rindangnya kampus ini.
Saya tak salah mengagumi

Saya alumni Fakultas Ekonomi
Itulah mungkin kenapa kaki saya beranjak ke FEUI

Entah kenapa saya naik kelantai atas, untuk kemudian mengikuti perkuliahan perekonomian Indonesia

Tempat kuliahnya seperti auditorium kecil.

Materi yang menarik dari dosen senior.

Saya tidak salah tempat

Diakhir kuliah
Sang dosen berpesan:
"Kalian anak muda 2014 jangan golput, nasib bangsa ini apakah ekonominya lepas landas atau colaps ada ditangan Presiden 2014, dan Presiden 2014 dipilih oleh kalian"

Semua mahasisiwa memberi aplause
Dan kuliahpun selesai

Sesaat ketika mahasiswa membubarkan diri terdengar celetukan seorang mahasiswi: "kuliah perekonomian Indonesia dosen-dosennya keren semua ya"


Biaya perjalanan Jakarta Utara-Depok terbayar lunas.

Rabu, 02 April 2014

Taman Bungkul

Saya lupa
Mungkin 2004 atau 2005
Saat itu Taman Bungkul masih merupakan taman tak terawat

Sunyi dipagi, seringkali.
Rame disore, anak-anak bermain bola

Dulu sebelum Bu Risma merenovasinya menjadi taman terindah se-asia
Saya sering duduk-duduk dengan earphone ditelinga.
Duduk
Merenung
Mencari ketenangan

Ketika itu, Taman terpopuler di jalan terpopuler di Surabaya itu bukanlah destinasi favorit seperti saat ini

Dulu
Jangan bermimpi mendapatkan gelar terindah se-asia

Bu Risma yang mengubah semuanya.

Senang?
Ya warga Surabaya pada umumnya senang dengan Taman Bungkul sekarang

Semua Orang?

Tidak... 

Saya salah satu yang tidak suka perubahan ini

Nyaris tak pernah lagi saya merenung disana
Taman terindah se-asia itu telah menjadi tempat yang ramai dan berisik
Seolah semua orang Surabaya mengunjungi taman itu.

Tak ada lagi keheningan dan kekhusyukan untuk merenungi hidup.
Mempertanyakan suratan takdir.
Merajut asa masa depan.

Saya Rindu Taman Bungkul yang sepi dan sunyi dulu.
Kesunyian yang menemani masa remaja saya

Terkadang, keindahan tak selalu membawa kebahagiaan

Mungkinkah kembali seperti dulu?

Taman Suropati

Taman Suropati ketika senja

Adalah sebuah momen favorit saya

Angin semilir menerpa wajah saya yang sibuk mendengarkan alunan musik dari earphone

Saya hanyut dalam delusi yang saya ciptakan sendiri

Saya memejamkan mata
Saya hanyut dalam keindahan kenangan manis masa lalu

Taman ini merupakan tempat terbaik untuk merenungi hidup.
Mempertanyakan kebenaran politik Indonesia.
Mengutuki kesalahan diri.....

Beberapa kali saya memperhatikan para mahasiswa seni mempertunjukkan skill mempesona mereka

Mereka memamerkan suara merdu mereka

Saya iri, saya ingin memiliki suara itu... Bisakah...?

Pernah, suatu malam saya bersama seseorang
duduk berdua 
Membicarakan tentang diri kami

Dua banci pengamen mendatangi..
Menyanyi..
Menggoyangkan badan dengan tidak jelasnya
Setelah diberi sekumpulan receh baru pergi
Dan sempat-sempatnya si banci mencolek dagu saya

Dia tertawa....
Ya dia....

Taman Suropati....
Ketika saya kembali ke Surabaya
Tidak berapa lama, Taman Bungkul mendapat penghargaan sebagai taman terindah se-asia

Warga Surabaya bangga bukan main.
Bahagia bukan kepalang.

Entah kenapa saya tidak pernah setuju dengan penghargaan itu

Bagi saya Taman Suropati still better than Taman Bungkul

Maafkan saya, mungkin ini opini pribadi saya semata, mungkin saya salah.

Atau karena kenangan sentimentil saya dengan dia dulu?
Yang membuat seolah Taman Suropati adalah yang terindah di dunia?

Ah... jika saya kembali ke Jakarta nanti
Saya ingin kembali ke Taman Suropati

Tempat yang memberi saya ketenangan

Tempat yang memberi saya kenangan......