Minggu, 25 Mei 2014

La Decima

La Decima

Bahasa Spanyol.

Atau Inggrisnya 

The Tenth.

Atau Indonesianya

Yang Kesepuluh.


La Decima adalah sebuah penantian dua belas tahun para Madridista, fans Real Madrid Football Club.

Ya dua belas tahun, satu koma dua dekade.

Penantian yang panjang.
Sangat panjang.

Sebuah penantian untuk merebut hagemoni sebagai Reyes de Europa (King of Europe).

Menjadi Juara Uefa Champion League.

Terakhir kali piala si kuping besar digenggam Real Madrid adalah pada tahun 2002 tahunnya piala dunia Korea-Jepang.
Kini di tahun piala dunia Brazil 2014, dehaga titel tertinggi benua biru terpenuhi sudah.

Jalannya pertandingan begitu dramatis dan menguras emosional fans, utamanya Madridista di sembilan puluh menit awal pertandingan.

Permainan yang penuh kehati-hatian diantara keduanya membuat pertandingan berjalan monoton. Kritikus mengecam gaya permainan yang tak selayaknya final kejuaraan level Eropa.

Pada menit ketiga puluh enam, arah angin membela Atletico.
Kesalahpahaman Iker Casillas kiper Real membaca arah bola membuat Diego Godin membobol jala Real dan membuat Iker terguling kedalam gawang.
Bola meluncur, Atletico Madrid 1-0 Real Madrid.

Hingga menit terakhir dari sembilan puluh waktu normal, tak ada lagi gol yang tercipta.
Madridista frustasi, kekalahan semakin nyata, La Decima tampak tak realistis lagi.

Dan bola itu tak pernah kotak.
Gelinding bundar bola sepak berguling membela Real Madrid. Sundulan maut kepinggir bawah gawang Atletico oleh bek kawakan Real Madrid, Sergio Ramos Garcia, merenggut trofi UCL yang sudah didepan mata Diego Simeone Army. 

Menit 90+3 skor satu sama untuk kedua tim ibukota Spanyol.

Game On!

Tak ada yang berubah pada babak pertama dari tambahan waktu 2x15 menit. Babak kedualah yang menjadi penentunya. 

Semuanya Berubah ketika Angel Di Maria (bukan negara api) menyerang !

Tendangan kerasnya ke arah gawang memang ditepis Thibaut Courtois,
Tapi pahlawan Copa Del Rey 2014 ada disaat dan posisi yang tepat, ya Gareth Bale menyambut bola rebound dan menyundulnya ke sudut kanan atas gawang Atletico.

Meledaklah kebahagiaan Madridista di seluruh dunia !

Real Madrid 2-1 Atletico Madrid.

Fisik yang terkuras habis dan mental yang terpukul, hanya selang delapan menit barisan bek Atletico membiarkan saja punggawa timnas Brazil Marcelo menggiring dan melesakkan bola dengan keras ke tengah gawang Courtois.

Bam !
Tendangan Marcelo terlalu keras untuk dihentikan sang kiper pinjaman dari Chelsea.

Skor 3-1 untuk Real Madrid !

Tambahan gol dari Marcelo sebenarnya sudah cukup melebihi ekspetasi para Madridista.
Bahkan sebenarnya skor 2-1 saja sudah merupakan kemenangan besar bagi para fans Los Blancos.

Tapi buyarnya semua aspek fisik dan psikologis punggawa Los Colchoneros membuat mereka memberikan penalti yang tak perlu.

Seakan tak lengkap tanpa sang mega bintang, Cristiano Ronaldo Dos Santos Aveiro melesakkan dari titik penalti torehan gol ke 17 nya di UCL musim ini !

High Above All Expectation ! 

Dari tertinggal 0-1
Sepanjang 90 menit awal.

Kemudian membalikkan 4-1
Di menit penutup 120.

Terlalu Luar Biasa !

Sebuah manifestasi nyata tentang betapa tipisnya kejayaan dan kegagalan.

Hanya butuh bertahan lima menit lebih saja.
Ya lima menit saja! 
Tambahan lima menit dari sembilan puluh waktu normal yang ada.
Apabila pertahanan Atletico Madrid mampu fokus konsentrasi di waktu tersebut, maka gelar pertama mereka pastilah dapat direngkuh.

Betapa tipisnya antara Glory and Losers.

Hanya kurang dari dua menit dari waktu yang tersisa Real Madrid menyeimbangkan skor.

Dan hanya dalam rentang sepuluh menit, Bale (menit 110), Marcelo (118), dan ditutup Penalti Cristiano (120).
Skor telak Real Madrid 4-1 Atletico Madrid menjadi fakta sejarah Kejuaraan Eropa.

Congrats Real Madrid !
Berpestalah Madridista !

Vamos Real !
Hala Madrid ! 

Selasa, 20 Mei 2014

Kopi Bola dan Rokok Politik

Bagi kebanyakan pria Indonesia, Kopi dan Rokok adalah kesatuan yang tak terpisahkan

Kata mereka yang mayoritas ini,
Kopi tanpa Rokok
Bagaikan langit tanpa awan.
Bagaikan malam tanpa bintang.
Kosong dan hampa...

Terdengar hiperbola.



Apapun istilahnya...

Nyatanya kopi dan rokok menjadi konsumsi sehari-hari pria Indonesia

Adalah sebuah candu nyata
Dari kafein dan nikotin,
konsumsi ini menjadi meningkat ketika para individu berkumpul dan membahas hal-hal yang sangat debatable tak berujung

Sepakbola atau Politik.

Sepakbola adalah industri besar.
Ini bukan hanya tentang pertandingan 2X45 menit, ini lebih dari itu.

Industri ini merupakan tempat perputaran uang dalam jumlah yang tak terhingga.
Mulai dari transfer pemain, ticketing penonton, hak siar televisi, iklan dari brand-brand ternama, dan masih banyak lainnya.

Dan tiap-tiap hal tersebut diatas menjadi bahan perbincangan menarik diantara didihnya segelas kopi dan kepulan asap rokok.

Politik.

Politik adalah hal rumit, namun tak bisa ditinggalkan.
Apapun levelnya
Apakah pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, lebih-lebih pemilihan Presiden, akan menjadi bahasan panjang berbusa-busa, terlebih jika partner diskusi adalah oposisi idealisme sang pendiskusi, akan panjang ceritanya.

Budaya banyak bicara dan sedikit kerja masih merasuk diakar rumput negara kita.
Lebih mudah memang mengkritik dan menyalahkan pemerintah atas sulitnya ekonomi.
Mudah saja memaki pemain dan pelatih tim idola mereka yang kalah.
Akan lebih berisik lagi cacian itu jika kalah karena judi bola.
Penyakit akar rumput.

Sepakbola memang seperti Kopi.
Nikmat saat didih, dan tak bosan-bosan dikonsumsi setiap hari.

Politik-pun laksana Rokok.
Beracun dan jelas-jelas berbahaya, tapi candunya saat ini lebih nikmat daripada ancaman bahaya di masa yang akan datang.


Mari angkat tangan

dan bersulang

untuk Secangkir Kopi Bola

dan Sebungkus Rokok Politik.

Sabtu, 10 Mei 2014

Kinan

Suatu siang di Kantor

"Pak Awan, sibuk gak?" Kinan bertanya.
"Butuh bantuan apa Kinan?" Awan menjawab paham.

"Bantuin mindahin meja kantorku dong"

"Ayokk, yang lain mana?"

"Udah kita bedua aja"

"Loh, mejanya besar lo, kamu kuat?"

"Kuaattt"

Dan mejapun berpindah.

"Mestinya kamu nunggu yang lain aja ki, masak kamu yang geser-geser meja berat ini".

"Ihh, lama pak kalo nunggu mereka"

"Abis mestinya kan kamu gak perlu angkat-angkat begituan"

"Gapapa pak, cewek harus mandiri, hehe" Kinan mengujar sambil tersenyum menatap Awan.

Awan hanya membalas tersenyum.
Kehabisan kata-kata.
Perempuan ini selalu punya kejutan untuknya.

Bukan kali ini saja Awan melihat Kinan mandiri berbuat sesuatu yang harusnya hanya lelaki yang melakukan.

Pernah suatu ketika di pagi hari.
Awan tak melihat keberadaan Kinan dimejanya.
Dan ternyata Kinan sedang duduk dilantai.
Dengan obengnya, tanpa canggung, dia mengencangkan baut yang tidak mengunci rapat seater kursinya.

Tak perlu alasan, dia melakukannya sendiri.

Awan mengagumi Kinan.

Dulu sekali.
Pada awal mula pertemuan mereka.
Mereka tak menyukai satu sama lain.

Kinan menganggap Awan slengean.
Awan menganggap Kinan judes.

Dulu sekali.
Ketika Awan baru saja menerima promosi atas pencapaiannya.
Semua orang mengucap selamat.
Hanya Kinan yang berucap berbeda:
"Oh bagus, biar berasa tanggung jawabnya jadi manajer" judes Kinan berkata tanpa melihat ke Awan.

Judes dan Sinis.

Tapi belakangan Awan merasa itu adalah sebuah kalimat motivasi untuknya
Untuk membuktikan prestasi dirinya.


Kinan adalah perempuan bertubuh kecil dengan kedewasaan didalam diri.

Seringkali menjadi tempat curhat dan penengah disaat timnya bertengkar dan mendumel satu sama lainnya.

Kinan pernah punya masa lalu yang tak menyenangkan, tapi dia move on dan semakin dewasa karenanya.

Kinan itu Mandiri dan Dewasa.

Kadang dari meja kerjanya, Awan memandang Kinan. Melihat betapa sibuknya si gadis kecil itu.

Gadis yang tak lelah bekerja keras.

Gadis yang tak pernah lupa menari mengikuti irama kehidupan, dibawah hujan deras permasalahan.

Gadis kecil mandiri pekerja keras yang bernama Kinanti Asriana.

Identitas Perantau

Pernah merantau?

Dulu saya pernah.
Menjejakkan kaki ke City of Hope:
Jakarta.

Tentu saja untuk urusan pekerjaan.

Dan tentu saja orang-orang baru yang saya kenal menanyakan pertanyaan klasik:
"Kamu orang mana?"
Pertanyaan yang susah-susah gampang.
Dan saya menjawab:
"Orang Surabaya".

Umumnya bagi orang lain yang ditanyakan hal yang sama, jawaban saya sudah menyelesaikan pertanyaan.

Saya tidak.

Selalu saja, dan sering kali teman-teman Jakarta itu mengatakan:
"Masak sih? Logatmu gak ada medok-medok jawanya sama sekali!".

Dan kemudian ceritanya jadi panjang. Karena memang saya bukan asli Surabaya, dan memang meski sudah lama menetap di provinsi paling timur pulau Jawa itu, logat saya tak kunjung melumer dengan tempat saya menetap tersebut.
Saya pun harus menjabarkan panjang kali lebar sama dengan luas, tentang mengapa saya mengaku Jawa meski berlogat luar Jawa.

Apa yang saya alami adalah kebalikan dari apa umumnya pengalaman yang didapatkan teman-teman Surabaya saya ketika merantau ke Jakarta.

Dengan logat khas Jawa Timurnya, teman-teman saya selalu memancingkan sebuah pertanyaan yang diumpankan kepada mereka:
"Kamu orang Jawa kan?".

Umumnya dan seringkali, teman-teman saya tersinggung dengan pertanyaan itu. Mereka marah karena merasa Jakarta adalah bagian dari Pulau Jawa, dan pertanyaan tersebut terdengar sangat ganjil.

Ya memang, orang Jakarta dan sekitarnya menyebut orang Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai orang Jawa, dan orang Jawa Barat disebut orang Sunda.

Bagi saya pribadi, tak ada maksud SARA daripada teman-teman Jakarta, ini hanya masalah pemilihan bahasa belaka saja.

Orang Jakarta, Orang Sunda, Orang Jawa adalah identitas yang kita miliki.

Dan bukankah kita harus bangga dengan identitas kita, apapun itu, Bukan?

Rabu, 07 Mei 2014

Tentang Mindset Pendidikan

Pernahkah anda ketika kecil dinasehati untuk kuliah di Fakultas Kedokteran atau di Institut Teknologi seperti ITB atau ITS?

Darimana nasehat para orangtua kita itu didapat?

Jelas itu adalah sebuah mindset.
Dan mindset umumnya didapat ketika mereka masih muda dulu.

Darimana asalnya mindset itu?
Akan menjadi diskusi dan perdebatan panjang.

Maka izinkan saya memberikan opini...

Mindset generasi terdahulu diyakini dimulai dari pidato-pidato para pemimpin negara ini.

Ketika Presiden Soekarno masih menjabat.

Bung Karno dalam satu pidatonya menekankan bahwa Indonesia membutuhkan tenaga-tenaga terdidik teknik dalam jumlah banyak.
Itulah kenapa Bung Karno menolak program Keluarga Berencana.
Dalam menekankan fatwanya itu, Bung Karno mengatakan bahwa anak-anaknya harus kuliah di Fakultas Teknik.
Bahkan Bung Karno mengancam siapapun pemuda-pemudi yang bukan Insinyur (Sarjana Teknik) tidak boleh berani mendekati putra dan putri sang Presiden.

Itulah awal mula mindset: sukses itu apabila kuliah di Fakultas Teknik.

Jangan samakan pidato Bung Karno seperti pidato presiden kita saat tulisan ini diterbitkan.
Di zaman sekarang, presiden pidato, rakyat ganti chanel TV.

Di Zaman Bung Karno, setiap beliau pidato, rakyat berbondong-bondong mendengarkan.
Bahkan anak SD dizaman itu akan berkumpul di lapangan, bukan untuk upacara, tapi mendengarkan pidato sang presiden dari siaran radio.

Jadi bukan hal yang mengherankan jika generasi orang tua dizaman itu memiliki mindset yang ditanamkan sang The Great Architect of Indonesia: Insinyur Soekarno.

Waktu bergulir.
Arah angin pun berubah.

Di era 2000an
Kebanggaan kuliah di Kedokteran dan Teknik masih ada, tapi tak sederas dulu.

Semangat kewirausahaan dan tumbuhnya banyak Bank di Indonesia.
Membuat Fakultas Ekonomi kebanjiran peminat.
Tumbuhnya banyak sekolah tinggi ekonomi adalah indikator betapa banyaknya minat akan fakultas tersebut.

Lalu jika mindset lama telah ditinggalkan, maka mindset mana yang harus kita miliki?

Ada sebuah kalimat yang populer saat ini: "Follow you're passion"

Jika dibedah kalimat diatas akan menjadi bahasan yang panjang.
Jika disederhanakan dan dikaitkan dengan pendidikan maka pesan kalimat itu adalah pilihlah fakultas yang sesuai dengan minat (passion) si calon mahasiswa.
Jika dia punya minat kuat terhadap sebuah fakultas, maka berprestasi dan sukses akan lebih mudah diraih.

Ya itu skenario-nya.

Akan tetapi.
Bagaimana jika si calon mahasiswa tidak tahu passion-nya?

Jawaban paling realistis adalah dengan main aman.
Yaitu masuki fakultas-fakultas favorit yang dicari banyak perusahaan besar, seperti Fakultas Ekonomi dan Teknik.

Kenapa?

Karena pada akhirnya, jika kita tidak bisa puas dengan bidang kuliah kita, minimal kita bisa puas dengan kompensasi pekerjaan dari hasil kuliah di fakultas favorit.

Pragmatis?
Mungkin.
Tapi anggap saja realistis.

Diakhir masa perkuliahan saya.
Disebuah Fakultas Ekonomi.
Saya baru menyadari Passion saya adalah menelaah buku-buku populer dan mentafsir ulangnya melalui goresan tinta saya.

Itu berarti, harusnya saya berkuliah di Fakultas Sastra

Ketika saya menyadari passion saya

Semua sudah terlambat.

Kamis, 01 Mei 2014

Laut Lepas

Angin berhembus kencang
Diatas lautan bening
Memantulkan langit biru

Perjalanan kapal berjam-jam dilaluinya dengan tenang.

Kapal bergerak naik turun bergelombang memecah arus.
Beberapa penumpang mabuk laut.
Pria itu tidak.

Alunan denting lagu yang menyumpal telinganya menambah syahdu suasana.
Melengkapi keheningan hatinya yang membawa pikirannya melamun jauh terbang keawan.

Kepulauan seribu memang indah.
Banyak pulau -yang entah apakah benar berjumlah seribu- indah bertebaran, dengan resort-resort yang menyempurnakan pesona wisatanya.

Membawa keluarga, membawa teman, membawa siapapun, akan menyempurnakan kesenangan berwisata disana.
Tempat penat dijauhkan.
Tempat pekerjaan tertinggal, diseberang pulau.

Rumah-rumah penduduk disewakan.
Rumah yang ber-AC dan ber-air bersih.

Pria-wanita, tua-muda, bersuka ria menaiki sepeda-sepeda, mereka mengayuh dengan semangatnya, tak sabar menemui pantai dengan pasir halusnya.

Banyak kerikil menghampar.
Kaki telanjang kegelian menginjaknya.

Seru dan Menyenangkan.

"Suasananya menyenangkan ya Ki"
"Iya Aw, tenang dan menenangkan"
Kinan dan Awan bertukar kesan.

Mereka duduk dibongkahan kayu-kayu, kaki mereka memain-mainkan pasir pantai, bersenda gurau dengan alam.

Suasana alam tak pernah setenang ini.

Pulau ini memiliki reruntuhan pelabuhan kapal.
Reruntuhan batu yang semakin melengkapi keeksotisan si pulau.

"Anginnya kencang Ki"
"Hihi iyaaa, damai banget ya Aw"
"Gelombang airnya kenceng banget, kalo nyemplung jangan-jangan entar kebawa sampai Jakarta lagi" Awan berteori.
"Hihihi, kalo aku kecemplung ke laut sana, kamu bakal nyelamatin aku ga?" Khayal Kinan.
"Pastiii, tapi kalo udah nyemplung kita gak usah minggir ke pantai, biarin kebawa arus sampai Aussie" ucap hiperbola Awan.
"Hihihihi" kikik Kinan.

Mereka berdua menatap langit keatas, menikmati udara yang berhembus kencang dan deburan ombak yang menabrak-nabrak karang.


Kapal-kapal banyak bersandar di pelabuhan, hendak mengantar para wisatawan.
Angin begitu kencang, laut bergelora, alam begitu bersemangat menyambut wisatawan.

Byurrr....
Satu per satu wisatawan dengan pakaian snorklingnya jatuh menceburi laut.
Ada yang begitu menikmati.
Ada yang terengah-engah menelan air garam, buah ketidaktahuan cara pakai slang pernapasan.

Awan berkali-kali meminum asinnya air garam, hasil kelalaian tidak memakai alat pernapasan.

Awan melihat Kinan.
Sama terengah-engahnya.
Berkali-kali Awan membenarkan kacamata snorkling Kinan, membenarkan selang pernapasannya.

Kali ini, Awan merasa berbeda.
Melihat mata Kinan dari dekat, dengan bibir yang basah, ditengah deburan lautan luas.
Tak pernah sebelumnya,
Kinan terlihat seeksotis ini.

Angin berhembus sangat kencang.
Membawa deburan ombak menerpa mereka.
Kapal berjangkar pun tak mampu tetap bertahan, terombang-ambing dibawa arusnya laut, perlahan demi perlahan.

Mereka mencelupkan kepala kelautan, melihat banyaknya karang dilautan, bermacam bentuk, beraneka ragam. Indah.

Awan menunjuk-nunjuk kearah karang-karang yang berhamburan luas, derasnya arus lautan tak menghalangi. 
Demi hanya ingin berbagi indahnya lautan. 
Hanya kepada Kinan seorang.

Awan menggenggam tangan Kinan.
Memastikan mereka tak terpisah.
Bukan hanya dalam arti hari itu saja.
Ia ingin Kinan selamanya, selamanya, selamanya...

Lautan dingin.
Tak terasa hangatnya tangan Kinan.
Tapi hati sudah begitu hangat.

Lautan luas.
Karang-Karang yang indah.
Tangan Kinan dalam genggaman.
Berbasah-basahan bersama.

Apa lagi yang harus diminta Awan?
Sempurna...
Hari itu begitu sempurna.

Diatas kapal mereka duduk bersama.
Kinan bersandar dibahu Awan.
Mereka hanya diam.
Menatap Senja.
Kelelahan berbasah-basahan melihat karang.

Matahari senja mulai menghampiri.
Hari apapun tak ada yang abadi.

Hari yang selalu indah.
Membawa kebahagiaan sampai kelangit.

Membawa kenangan mengalir.
Kenangan akan Kinan.
Ke Laut Lepas...