Sabtu, 19 Juli 2014

President Soekarno as a Politic Role Model



Golput di era Orde Baru adalah sebuah keberanian dengan nyali tinggi.
Sebuah idealisme luar biasa melawan sebuah tirani
Melawan sebuah kediktatoran!

Ya di era orde baru anda tak perlu menjadi Nostradamus untuk meramal siapa pemenangnya.
Meskipun ber-Calon Wakil Presiden-kan sendal jepit-pun, Sang Jendral Orde Baru pasti menjadi Kepala Pemerintahan Indonesia.


Di era reformasi
Golput mengalami degradasi nilai.
Bukan lagi sebagai manifesto keberanian melawan tembok tirani
Golput hanyalah tanda skeptisisme, bahkan lebih kasar lagi bisa dijudge sebagai sebuah kemalasan.

Ya Malas!
Di era reformasi ini mereka yang golput adalah para pemalas yang tak mau tau mencari informasi soal siapa Capres idealnya.

Meremahkan arti dari pemilihan presiden adalah bentuk mental yang anti-sosial.
Mereka yang golput tidak tahu betapa berbahayanya nasib satu generasi apabila salah pilih presiden.

Mau contoh?

Sebelum Bung Karno turun, beliau banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa berprestasi, murni karena prestasi akademis, tanpa motif politik.
Sebagian besar beasiswa itu diarahkan untuk kuliah di negara-negara eropa timur yang pada era itu masih dikuasai paham komunis.

Lalu apa yang terjadi?

Roda berputar, Jendral Suharto naik, keluarlah kebijakan sapu bersih komunis.
Apa hubungan dengan mahasiswa-mahasiswa tersebut?
Apa mereka komunis? Tidak.
Apa mereka memberontak? Tidak.

Salah mereka, mereka dianggap orang-orang Bung Karno.

Lalu apa yang terjadi kepada mereka?
Mereka tak pernah bisa kembali ke Indonesia.
Blacklist orde baru, adalah bunuh diri jika mereka kembali ke Indonesia, karena penjara menanti dengan pasti.

Itulah contohnya betapa seorang presiden bisa membuat satu kebijakan yang mengubah satu generasi.

Mahasiswa berprestasi di era orde lama berubah menjadi buronan di era orde baru.



Lalu bagaimana caranya agar tidak skeptis terhadap pilpres?
miliki role model!

Dalam pemilihan presiden, saya hanya punya satu role model: Presiden Soekarno.

Dalam dua pemilu (2009 dan 2014) saya selalu mencari kesamaan capres yang saya dukung dengan karakter Bung Karno.

Di 2009, saya memilih JK dibanding SBY dan bahkan Megawati (putri kandung Bung Karno)
Bagi saya JK dengan sikap lugasnya, tanpa basa-basi, anti-protokol, cenderung hobi menabrak aturan demi pencapaian target, adalah representasi Bung Karno.

Dimasanya, Bung Karno dengan berani mengambil resiko finansial dengan membangun Stadion megah untuk Asian Games 1962, membangun jalan-jalan besar yang dinamai nama pahlawan seperti Jalan Diponegoro, Cokroaminoto dan lainnya.

Bung Karno dengan lantangnya menyebut penentang rencana pembangunannya tersebut sebagai orang berwawasan picik dan bermentalkan warung kelontong.
Bung Karno berkata bahwa itu bukan untuk keagungannya semata, tapi agar seluruh bangsa Indonesia dihargai dunia!

Masih dengan lantangnya Bung Karno berkata bahwa: "ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan - ini juga penting!"

Ya, saya melihat spirit membangun JK, memiliki nafas Arsitektur Bung Karno: Kebanggaan Nasional!.

Sayang di 2009 JK kalah telak.


Di 2014, hanya ada dua nama yang menjadi Capres: Jokowi dan Prabowo.
Ini justru sangat memudahkan saya, hanya dengan sebelah mata saya langsung memilih Jokowi.

Mengapa bukan Prabowo?
Prabowo adalah bekas menantu Suharto dan punya spirit politik seperti bekas mertuanya itu.

Siapapun pengagum Bung Karno tau, bahwa Bung Karno meninggal sebagai tahanan politik, dengan pengobatan penyakit ala kadarnya dan diperlakukan dengan sangat buruk untuk level beliau sebagai Bapak Bangsa yang Memerdekakan Indonesia!
Itu semua ulah orde baru.

Puluhan tahun waktu berjalan
Perlakuan buruk Suharto terhadap Bung Karno tak akan bisa dilupakan begitu saja.


Ada satu lagi yang membuat saya memilih Jokowi: Blusukan.

Bung Karno dimasa sebelum 17 Agustus 1945 sangat suka berkeliling menemui rakyatnya.
Salah satu hasil blusukannya yang paling legendaris adalah pertemuannya dengan Petani Bumi Priangan bernama Marhaen.
Kelak pertemuan itu menginspirasi Bung Karno menggagas paham Marhaenisme.

Ya, spirit blusukan Jokowi, mengingatkan saya kepada pertemuan legendaris Bung Karno dengan Sang Petani tersebut.


Ya, saya menjadikan Bung Karno sebagai role model politik saya.
Pegangan saya disaat bimbang memilih pemimpin di Indonesia.
Ketika saya tak tahu harus memilih siapa
Saya duduk diam dan membaca ulang buku yang berisikan gagasan-gagasan politik Bung Karno.
Kemudian saya menjatuhkan pilihan politik saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar